UNPI-CIANJUR.AC.ID - Ketika komunitas internasional tengah berusaha mendamaikan Arab Saudi dan Iran, yang saling bersaing pengaruh itu, Arab Saudi menuduh Iran selama hampir empat dekade sebagai penyebar "fitnah, keresahan dan kekacauan".
Kantor berita SPA mengutip seorang pejabat luar negeri Saudi yang tidak disebutkan namanya, menyatakan, "Sejak revolusi Iran pada 1979, Iran punya catatan menyebarluaskan fitnah, keresahan, dan kekacauan di kawasan ini,"
"Selama periode waktu yang sama, Kerajaan (Saudi) mengambil kebijakan yang menahan diri kendati menderita sebagai konsekuensi dari kebijakan yang terus menerus agresif dari Iran." Pejabat itu mengatakan kebijakan Iran utamanya didasarkan pada ide mengekspor revolusi.
Pejabat itu mengatakan, seraya menuduh Iran menyokong terorisme dan melancarkan berbagai pembunuhan, "Iran merekrut milisi di Irak, Lebanon, Suriah dan Yaman."
"Untuk melukiskan kebijakan agresif Iran dan menyangkal "kebohongan-kebohongan nyata" dari Tehran, termasuk sebuah artikel Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif di New York Times pekan lalu, SPA menyiarkan bukti 58 titik yang disiapkan kementerian luar negeri Saudi.
Saudi Arabia berusaha menghentikan kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara besar dan menutup dialog di Timur Tengah, kata Zarif.
Zarif menyatakan Saudi takut Iranofobia runtuh, "Beberapa orang di Riyadh tidak hanya terus menghambat normalisasi namun juga berusaha menjerumuskan seluruh kawasan ke konfrontasi."
Zarif seperti dikutip AFP, menyebutkan, "Arab Saudi sepertinya takut bahwa hilangnya layar asap masalah nuklir akan mengekspos ancaman nyata dunia, yakni kesponsoran aktifnya kepada ekstremisme kekerasan."