Kemendikbud Luncurkan Buku Indeks Aktivitas Literasi Membaca
unpi/jpp • Senin, 20 Mei 2019 12:30 Wib
Sumber Foto : jarndyce.co.uk
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat, sejak tahun 2016 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Bangsa.
Untuk mendukung program GLN, diperlukan sokongan kajian yang memadai terutama untuk memetakan persoalan literasi secara nasional sehingga program GLN dapat lebih tepat sasaran. Merespons kebutuhan itu, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud telah melakukan kajian yang bertujuan untuk: (1) menelaah dimensi dan indikator yang dapat merepresentasikan aktivitas literasi membaca; dan (2) menyusun indeks untuk mengukur tingkat aktivitas literasi membaca. Hasil kajian ini adalah Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) tingkat provinsi.
"Dalam membaca kita selalu terkendala. Rata-rata dalam Ujian Nasional (UN), anak bisa menjawab soal bahasa Indonesia hanya 60 persen. Dengan wacana atau teks yang agak panjang lebih kedodoran. Ini disebabkan aktivitas bacanya kurang," menurut Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno, saat membuka acara Diskusi dan Peluncuran Buku Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca), dilansir JPP.
Indeks Alibaca mengadopsi konsep Miller dan McKenna (2016) dalam buku World literacy: How countries rank and why it matters, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas literasi, yaitu: (1) kecakapan (proficiency), merupakan syarat awal agar seseorang dapat mengakses bahan literasi; (2) akses (access), yaitu sumber daya pendukung dimana masyarakat mendapatkan bahan literasi, seperti perpustakaan, toko buku, dan media massa; (3) alternatif (alternatives), yaitu beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan untuk mengakses bahan literasi; dan (4) budaya (culture), yaitu kebiasaan yang turut membentuk habitus literasi.
Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Emi Emilia, dalam paparannya mengatakan bahwa guru seharusnya lebih memahami teks bacaan sehingga dapat memberikan penjelasan yang mendalam kepada murid.
"Yang paling penting juga mengenai pemahaman guru, mengenai pemahaman teks ini yang belum. Misalnya ini lho teks eksplanasi. Jangan ketika diminta untuk berargumen, kok kita malah mendeskripsikan, diminta untuk memberikan instruksi malah justru mendeskripsikan. Dengan adanya hal ini perlu adanya guru yang pintar dan ini perlu dilatih mengenai hal-hal ini. Jadi, untuk guru harus dilatih untuk lebih meningkatkan pemahaman teks," ujar Emi Emilia.
Sementara itu, salah seorang narasumber, Nirwan Ahmad Arsuka, menjelaskan bahwa sumber masalah terbesarnya adalah adanya mitos bahwa minat baca anak Indonesia itu rendah. "Kemendikbud adalah salah satu agen yang sering mengulang-ulang mitos tersebut. Kemudian ditirulah oleh banyak selebritis ini. termasuk mbak Najwa (Shihab) dulu, kemudian belakangan kita tunjukan bahwa sebenarnya baca anak Indonesia itu tinggi, hanya bukunya saja yang tidak ada," kata Nirwan yang juga pegiat Pustaka Bergerak tersebut.
Dilanjutkan Nirwan Arsuka, peran serta masyarakat saat ini dalam memajukan literasi sangat besar. "Warga yang selama ini jadi objek saja, sekarang sudah jadi subjek. Mereka bisa menyumbang bambu, atap, dan bikin perpustakaan di kampung-kampung.
Bukunya siapa yang menyumbang? Sebagian ada anak-anak yang pulang atau yang bekerja di Jakarta, TKW-TKW di Hongkong misalnya, itulah yang demikian yang mengirim buku ke kampung-kampung. Banyak warga yang dulunya tidak sekolah dan merantau kini mereka menjadi penyumbang untuk membantu sosial masyarakat. Anak-anak ini barangkali tidak terlalu istimewa di kota, tetapi di kampung-kampung menjadi tokoh masyarakat. Karena mereka bisa mengajak warga untuk membangun perpustakaannya," jelas Nirwan.